Angka Menyusui Eksklusif di Indonesia Masih Rendah, Pemerintah Diharap Turun Tangan
Meskipun ada upaya peningkatan, angka menyusui eksklusif di Indonesia masih rendah, jauh dari target nasional 80%.

Indonesia masih berjuang meningkatkan angka menyusui eksklusif, meskipun terdapat peningkatan dan penurunan yang fluktuatif dari tahun ke tahun. Data dari berbagai sumber menunjukkan angka yang beragam, mulai dari 52,5% hingga 68,6%, tergantung pada tahun dan metodologi pengumpulan data. Rendahnya angka ini menimbulkan kekhawatiran, mengingat ASI eksklusif sangat penting untuk pertumbuhan dan kesehatan bayi. Permasalahan ini kompleks dan membutuhkan solusi menyeluruh dari berbagai pihak, termasuk pemerintah.
Salah satu tantangan utama adalah rendahnya inisiasi menyusui dini (IMD). Data menunjukkan persentase bayi yang mendapatkan ASI dalam satu jam pertama kehidupan masih di bawah 30% dalam beberapa tahun terakhir. Ini menunjukkan perlunya peningkatan upaya dalam mendukung inisiasi menyusui dini, yang sangat krusial untuk keberhasilan menyusui eksklusif. Faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap rendahnya angka menyusui eksklusif meliputi kurangnya dukungan di tempat kerja, promosi susu formula yang tidak etis, kesenjangan informasi, dan dampak pandemi COVID-19.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan angka menyusui eksklusif, termasuk sosialisasi dan edukasi, dukungan di tempat kerja, regulasi, dan telekonseling menyusui. Namun, upaya ini masih belum cukup untuk mencapai target nasional yang bervariasi, dengan beberapa sumber menyebutkan target 80%. Tantangan ini membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, tenaga kesehatan, keluarga, dan masyarakat, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi ibu menyusui. Data yang lebih akurat dan konsisten dari berbagai sumber sangat penting untuk memantau kemajuan dan mengarahkan strategi intervensi yang efektif.
Permasalahan dan Tantangan dalam Perlindungan Ibu Menyusui
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik bagi bayi usia 0-6 bulan. Pemberian ASI eksklusif bukan hanya hak ibu dan anak, tetapi juga memiliki banyak manfaat jangka panjang bagi kesehatan dan perkembangan anak. Namun, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan besar dalam meningkatkan angka pemberian ASI eksklusif. Kemenkes mencatat penurunan angka ASI eksklusif dari 64,5% pada 2018 menjadi 52,5% pada 2021, meskipun Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 melaporkan angka 68,6%. Perbedaan data ini menunjukkan perlunya metodologi pengumpulan data yang lebih konsisten.
WHO juga mencatat penurunan signifikan dalam pemberian ASI pada jam pertama kehidupan bayi, hanya 48,6% pada 2021. Penundaan pemberian ASI meningkatkan risiko infeksi dan penyakit pada bayi. Mia Sutanto, Ketua Umum AIMI (2007-2018), menekankan perlunya memperkuat kebijakan yang mendukung pemberian ASI eksklusif dan mengurangi pengaruh negatif dari pemasaran susu formula. "Perjalanan kebijakan pemberian makanan bayi dan anak di Indonesia memang telah menunjukkan kemajuan, namun kita masih menghadapi banyak tantangan. Kita harus memperkuat kebijakan yang mendukung pemberian ASI eksklusif dan mengurangi pengaruh negatif dari pemasaran susu formula." ujarnya.
Kurangnya dukungan di tempat kerja, promosi susu formula yang tidak etis, dan kesenjangan informasi mengenai pemberian ASI yang benar juga menjadi faktor penyebab rendahnya angka menyusui eksklusif. Irma Hidayana, founder pelanggarankode.org, menjelaskan bahwa pelanggaran terhadap kode pemasaran susu formula terus menghambat implementasi kebijakan perlindungan menyusui. "Pelanggaran terhadap kode pemasaran susu formula terus menghambat implementasi kebijakan perlindungan menyusui. Produsen susu formula makin eksploitatif mempengaruhi ibu, para nakes, dan masyarakat luas melalui berbagai cara, seperti menggunakan influencer, momfluencers, dan bekerja sama dengan asosiasi tenaga kesehatan, untuk membangun citra positif produk susu formula. Pelanggaarankode.org berperan penting dalam mengawasi dan melaporkan pelanggaran ini untuk melindungi hak menyusui - disusui bagi ibu dan bayi." jelasnya.

Kemajuan dan Tantangan dalam Kebijakan Perlindungan Ibu Menyusui
Indonesia telah membuat kemajuan dalam kebijakan perlindungan ibu menyusui, termasuk Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 dan No. 28 Tahun 2024, serta UU Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak. Namun, penurunan angka ASI eksklusif tetap menjadi masalah yang perlu ditangani. WHO dan UNICEF terus mendorong Indonesia untuk meningkatkan dukungan kepada ibu menyusui, terutama pada minggu pertama kehidupan bayi.
Meskipun terdapat regulasi yang mendukung hak ibu untuk menyusui, implementasinya masih perlu ditingkatkan. Lianita Prawindarti, Sekjen AIMI Pusat, menyoroti tantangan dari tren promosi susu formula yang tidak etis. "Perkembangan tren promosi susu formula yang tidak etis semakin mengganggu usaha kami dalam mempromosikan pemberian ASI. AIMI berkomitmen untuk terus mendukung ibu menyusui dengan memberikan edukasi dan advokasi kepada pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang lebih mendukung ibu menyusui dan membatasi praktik pemasaran susu formula." katanya.
UU Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak yang mengatur cuti melahirkan 6 bulan, belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh semua ibu, karena hanya berlaku pada kasus khusus dengan surat keterangan dokter. Cuti ayah yang minim juga menjadi tantangan, karena peran ayah dalam mendukung ibu menyusui sangat penting. Dukungan suami dan keluarga perlu diprioritaskan dalam kebijakan perlindungan ibu dan anak.
Peran AIMI dan Rekomendasi untuk Meningkatkan Perlindungan Ibu Menyusui
AIMI telah berperan besar dalam mengedukasi masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya ASI eksklusif, melalui kelas edukasi menyusui, konseling laktasi, dan kampanye penyuluhan. AIMI juga mendorong kebijakan yang memberikan perlindungan ibu menyusui.
AIMI merekomendasikan peningkatan implementasi kebijakan ASI eksklusif dengan pengawasan yang lebih ketat, penyediaan fasilitas menyusui yang memadai di tempat umum dan tempat kerja, peningkatan kompetensi tenaga kesehatan mengenai manajemen laktasi, dan kampanye yang lebih luas untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya ASI eksklusif.
Kampanye ini juga perlu mencakup penyebarluasan informasi mengenai pelanggaran Kode Internasional pemasaran produk pengganti ASI. Nia Umar, Ketua Umum AIMI, menekankan bahwa keberhasilan menyusui adalah upaya bersama yang melibatkan keluarga, tenaga kesehatan, sektor swasta, dan pemerintah. "Keberhasilan menyusui adalah upaya bersama yang melibatkan keluarga, tenaga kesehatan, sektor swasta, dan pemerintah. Kami percaya bahwa melalui kerjasama ini, kita dapat mencapai Indonesia yang lebih ramah bagi ibu menyusui, di mana setiap ibu dan anak mendapatkan haknya untuk menyusui dengan optimal." tutupnya.
Kesimpulannya, peningkatan angka menyusui eksklusif di Indonesia membutuhkan komitmen dan kerjasama dari berbagai pihak. Pemerintah perlu memperkuat implementasi kebijakan yang sudah ada, meningkatkan dukungan bagi ibu menyusui di tempat kerja, dan melakukan kampanye yang lebih efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Dukungan dari keluarga, tenaga kesehatan, dan masyarakat juga sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi ibu menyusui.